RAIM LAODE

https://id.pinterest.com/pin/808396201894111143/
https://id.pinterest.com/pin/808396201894111143/


https://www.youtube.com/watch?v=eKnXUm4gedM Saya tidak ingat berapa kali break untuk menyelesaikan menyimak video ini. Hari ini tepat tengah hari akhirnya saya khatam. Bukan hanya selesai namun juga terketuk. Saat menulis postingan ini saya memutuskan mendengarkan lagunya Raim, Komang. 

Raim memulai karirnya dengan stand up comedy dan akhirnya serius dengan musik juga.  Episode Thirty days lunch podcast dengan Raim mulanya tidak menarik hati saya. Tidak tahu, tidak menarik saja. Ditambah saya tidak kenal siapa itu Raim. Saya tidak terlalu tertarik dengan piala yang sudah Raim raih. Yang menarik hati saya adalah isi pembicaraan di episode kali ini. 

Mas Ruby dan Mas Aryo memulai percakapan dengan pembahasan lagu Komang karya Raim yang meraih 2 piala AMI. Ternyata Komang adalah lagu untuk istrinya. Meskipun sudah mendapatkan penghargaan dan karyanya di dengar oleh banyak orang Raim termasuk tenang. Tidak menjadikan hal itu sebagai beban atau merayakan dengan berlebihan. Apapun yang terjadi kedepannya dalam perjalanan ia berkarya, ia akan terus mencoba memberikan yang terbaik. Itu yang menjadi fokusnya. Tidak ada ketertarikan untuk mengejar nama orang lain yang mungkin lebih sukses di industri tersebut ataupun mengejar karyanya sendiri yang telah menjadi hits. Mendengar hal ini sekali lagi saya mengingatkan saya. Bahwa kita hanya butuh fokus untuk melakukan atau memberikan usaha terbaik kita dan terus berusaha bertumbuh. Karena tidak ada garansi pasti akan keberhasilan dalam titik tertentu. Saya belum menjadi konten kreator yang konsisten. Saat sadar saya datang saya akan membuat konten dan sangat fokus terhadap banyaknya penonton yang berhasil saya dapat. Seringkali hal itu menyakiti hati saya dalam berkarya. Padahal saya hanya butuh fokus tentang mencoba membuat karya berkualitas day by day inestead of focusing on the amount of viewers which often make me give up. Oke Fari, remember to focus on the right thing.

Selanjutnya Raim menceritakan bahwa almarhum ayahnya punya kebiasaan yang aneh saat Raim masih remaja. Raim tidak mengerti kenapa sehabis kerja membuat furniture ayah tidak langsung masuk ke rumah dan bermain dengan anaknya atau sekedar mengobrol dan makan. Malah memilih untuk duduk di depan teras sambil merokok den melamun. Namun, kini Raim paham. Saat ia sudah menjadi kepala keluarga ada kalanya ia butuh waktu sendiri sekadar 30 menit do nothing. Atau istilahnya me time after work. Yang mana ayah dan ibu kita seperti itu. Mereka butuh dan berhak untuk memiliki waktu sendiri. Pasangan kita pun begitu. Raim juga menuturkan saat sedang tidak ada panggilan kerja untuk membuat furnitur, ayahnya memutuskan untuk membuat lemari atau furnitur lainnya lalu dipajang di teras rumah. Ketika orang yang lewat melihat, ada saja yang membeli. Dari sini Raim belajar bahwa kita tidak bisa terus-terusan menunggu panggilan kerja untuk hidup. Namun, kita juga perlu untuk membuat sesuatu dan menarik pintu rezeki itu sendiri. Jadi, jangan berhenti membuat sesuatu dan menawarkannya. Dari sini saya belajar bahwa sebenarnya ayah Raim punya dua pilihan. Untuk frustasi karena tidak ada pekerjaan atau memilih untuk tetap berjuang dengan jalan yang mungkin berbeda namun tetap selaras dengan kemampuan. Ayah Raim memilih jalan ke dua. Raim belajar dari ayahnya bukan dengan kata-kata namun dengan melihat langsung yang ayahnya kerjakan. Yang kini ia aplikasikan dalam karirnya.

Lepas menceritakan tentang ayahnya. Kini kisah tentang Raim dan sang ibu. Raim yang sejak kecil tinggal di Wakatobi begitu mencintai daerahnya. Ia memutuskan merantau setelah usia 25 bila saya tak salah tangkap. Ia termasuk anak yang kaku untuk memeluk. Namun, usai merasakan yang namanya merantau, kini ia tidak canggung lagi untuk menunjukkan kasih sayangnya dengan memeluk. Raim simpulkan itu semua karena  pengalamannya merantau. Raim tidak mau pulang ke kampung halaman hanya karena orang tuanya sedang sakit atau jarang-jarang pulangnya. Ia memilih tiga bulan kerja di Jakarta dan satu bulan penuh di liburan di Wakatobi bersama timnya. Setiap kali ibunya ingin ke pasar, Raim selalu menjadi anak yang mengatar ibunya. Ia tidak ingin adik atau kakaknya. Hal yang awalnya saya tidak setujui adalah ketika Raim mempertanyakan, kenapa banyak sekali anak yang enggan menelpon orang tuanya. Kenapa kita lebih banyak bercerita kepada teman daripada orang tua sendiri atau keluarga. Disini saya tidak setuju karena setiap keluarga memiliki situasi yang berbeda. Bisa jadi si anak ingin bercerita namun ternyata tidak ada anggota keluarga yang mau mendengar. Atau mereka mendengarkan  namun malah berakhir dengan penghakiman yang memperkeruh keadaan. Namun, disini saya belajar bahwa meskipun kita memiliki pemikiran lain atau pengalaman yang berbeda, adakalanya yang terbaik adalah kita berusaha mendengarkan dan memahami orang lain yang sedang berbicara. Bukan malah mendebat. Karena dengan begitu kita bisa mengambil hikmahnya dengan sedikit bersabar. Saya yang sebelumnya pernah mendengar podcast Mas Aryo bersama Marissa Anita mengingat secara samar tentang hubungan Mas Aryo dan orang tuanya. Saya memperhatikan ekpresi Mas Aryo ketika Raim menuturkan pendapatnya. Mas Aryo mendengarkan dengan baik sampai pada titik tertentu seperti ada pemahaman baru yang Mas Aryo sadari. "Dari orang tua anak belajar kebaikan. Kalaupun ada hal yang tidak baik yang dilakukan oleh orang tuanya. Anak bisa belajar untuk tidak melakukan hal yang sama saat dewasa nanti. Hingga di akhir podcast Mas Aryo menyampaikan terimakasih ke Raim dan mengatakan usai podcast ia ingin menghubungi ibunya.

Sampai kapan pun orang tua akan melihat kita sebagai sosok anak. Anak yang bila ditelepon atau pulang ke rumah akan ditanya "sudah makan belum". Kebanyakan orang tua senang dengan hal yang sederhana menurut Raim. Sesederhana diajak bicara dan diantar ke pasar. Tidak melulu dengan hal-hal yang kebanyakan orang dianggap sebagai kesuksesan atau yang dipandang wah.  

Raim tidak begitu banyak membahas tentang Komang, istrinya. Namun ia sangat bersyukur memiliki Komang dalam hidupnya. Lagu Komang pun menjadi salah satu bentuk rasa syukur Raim atas istrinya.

Mengapa saya menulis ini? karena di ujung podcast Raim mengetuk hati saya. Bahwa menulis adalah sesuatu kemampuan yang tidak akan lekang oleh zaman dan perubahan. Dalam segala bidang kita membutuhkan kemampuan menulis. Entah menjadi konten kreator, penulis, komikus, dll. Yang tak kalah penting bahwa "ketidaknyamanan" adalah sumber dari karya. Banyak karya hebat lahir karena perasaan tidak nyaman. 

Semoga bermanfaat.

Selamat berlibur akhir tahun.

Posting Komentar

0 Komentar